Ketika lebih dari 500 kapal dan 40.000 pasukan harus dikerahkan oleh Dinasti Mongol saat menginvasi Jepang namun pada invasinya di Nusantara mereka justru harus perlu menerjunkan armada kapal perangnya hingga jumlah mencapai 1.000 kapal namun pasukan yang disertakannya hanya 20 hingga 30 ribu saja, ini tentu terkait strategi.

Ini terkait dengan kelebihan lawan yang berbeda-beda yang akan mereka hadapi kelak.

Dan terkait strategi perang, pada saat itu, Mongol adalah jagonya. Buktinya adalah Eropa Timur meliputi Rusia, Ukraina, Polandia, Bulgaria, hingga Asia Tengah dan Asia dimana China, India hingga Pakistan mereka gulung dalam satu libasan saja pada perang yang mereka kobarkan.

Dalam penyerbuannya ke Rusia melalui Azerbaijan, ke Georgia dan sepanjang Laut Kaspia, pada 1221 jenderal Mongolia Jebei dan Subedei memimpin pasukan yang berjumlah 20.000

Dengan ganas mereka melibas aliansi suku-suku Turki dari stepa, termasuk Alans , Cherkesz Kipchaks dan Cumans. Gabungan dari para Pangeran Rusia pun pada akhirnya masih tak mampu menolong mereka.

Pada 31 Mei 1223 Mongol meraih kemenangan atas pasukan koalisi dari beberapa negara Rusia di tepi sungai Kalchik atau Kalka di kawasan Oblast Donetsk Modern, Ukraina.

Terkait Irak, saat itu kota Bagdad adalah pusat peradaban dunia. Siapakah tak kenal Kekhalifahan Bani Abbasiyah dengan segala kebesarannya? Kiblat dunia dalam bidang filsafat, fisika hingga kedokteran mengarah pada kota itu. Abad keemasan Islam terpancang pada nama besar dinasti itu.

Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang termashur itu berakhir di tangan bangsa Mongol. Pada tahun 1258 serangan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menghancurkan Baghdad hingga rata dengan tanah dan tak menyisakan sedikitpun pengetahuan yang dihimpun selama ratusan tahun yang tersimpan di perpustakaan Baghdad.

Konon Kekhalifahan Bani Abbasiyah berlanjut di Kairo mulai tahun 1261 dibawah naungan Kesultanan Mamluk Mesir.

Hingga saat itu, bisa dibilang, tak ada kekuatan di sebelah mana pun di sudut bumi ini mampu membendung kegilaan Mongol. Konon katanya, duapertiga dari luas bumi dalam genggaman bangsa itu.

“Trus atas alasan apa Nusantara mampu membendung kekuatan Mongol?”

Saat mereka memilih mengerahkan 1.000 kapal ketika menyerbu kita dan pada invasi ke Jepang jumlah kapalnya jauh lebih sedikit padahal jumlah pasukan justru terbalik, tentu terkait antisipasi pada kekuatan laut kita bukan?

Dengan kata lain, keunggulan Nusantara di mata mereka adalah di laut dan maka satu-satunya cara meruntuhkan Nusantara hanya mungkin dapat dilakukan dengan kepemilikan armada yang lebih perkasa.

“Apakah dapat dibuktikan?”

Tiongkok adalah bangsa yang rajin membuat catatan. Salah satu buku abad ke-3 yang berjudul “Hal-Hal Aneh dari Selatan” karya Wan Chen adalah salah satunya .

Wan Chen pernah mendeskripsikan adanya sebuah kapal yang masuk ke Pelabuhan China di mana ada kapal yang mampu membawa 700 orang dengan lebih dari 10.000 kargo.

(Ingat, pada abad 3, sudah ada kapal yang membuatnya terperangah.)

Menurutnya, kapal itu berasal dari K’un-lun yang berarti “kepulauan di bawah angin” atau “negeri Selatan”. Kapal-kapal yang disebut K’un-lun po itu panjangnya lebih dari 50 meter dan tingginya di atas air adalah 4-7 meter.

Kapal raksasa itu kelak sering disebut atau dinamai dengan Jong atau Jung.

Pun I-Tsing (635 – 713) yang adalah seorang biksu Buddha Tionghoa yang sangat terkenal yang konon diberitakan pernah berkelana melalui jalur laut menuju ke India untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta.

Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan, ia menulis bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya. Pada catatannnya pun, dia menulis bahwa Sriwijaya sebagai negeri yang menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Masih ada banyak catatan mereka terkait negeri di selatan itu yang memiliki kapal besar dan kuat itu.

Adakah catatan-catatan itu bukti bahwa sudah sejak lama Nusantara adalah negeri penguasa lautan?

Menurut catatan sejarah, perkapalan laut China tidak ada sampai akhir dinasti Song yakni pendahulu dinasti Yuan (Mongol) dimana kaisar Kubilai Khan berkuasa. Pada masa sebelum itu kapal mereka adalah kapal sungai.

Di kemudian hari memang muncul kapal jung Cina Selatan yang menunjukkan ciri-ciri jong seperti kapal dari selatan. Lambungnya berbentuk V dan berujung ganda dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis.

Ini berbeda dengan kapal Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar. Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka, buritan dan haluan berbentuk persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit.

Bukankah dengan demikian itu dapat kita artikan bahwa teknologi perkapalan kita memang jauh sudah lebih dulu ada dan lebih maju dibanding mereka?

Dan fakta bahwa jalur perdagangan di Asia Tenggara di mana kondisi geografisnya yang berpulau pulau benar dikuasai oleh kapal kapal besar bernama Jung memang dapat dibuktikan dengan banyaknya catatan dari para pelaut Eropa.

Dan maka, adakah korelasi terkait armada perang Mongol yang harus lebih powerful saat menyerbu Nusantara dibanding saat menyerang Jepang menjadi lebih masuk akal?

“Kenapa harus menyerang Nusantara?”

Pada Musim Gugur 1274, sebagaimana dikutip dari Ancient Origins, bangsa Mongol melancarkan invasi pertama mereka ke Jepang, yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Bun’ei.

Sebelum mencoba untuk menginvasi Jepang, pasukan Mongol yang dipimpin Kubilai Khan telah lebih dulu berhasil menaklukkan Tiongkok pada tahun 1230 dan Korea pada tahun 1231.

Tak kurang dari 500 kapal dan 40.000 prajurit, sebagian besar etnis Tionghoa dan Korea.

Pada tahun 1293, berdasarkan naskah Yuan Shi, 20-30 ribu prajurit dikumpulkan dari Fujian, Jiangxi dan Huguang di Tiongkok selatan bersama dengan 1.000 kapal serta bekal untuk satu tahun teecatat dipersiapkan untuk menyerang Nusantara.

Pasukan itu dipimpin oleh Shi-bi, orang Mongol, Ike Mese, orang Uyghur yang berpengalaman dalam pelayaran ke luar negeri, dan Gaoxing, orang Tiongkok.

Pada perang di Jepang Mongol gagal karena alam tak berpihak padanya, pada perang dengan Singasari Mongol sangat dipermalukan.

Pada Jepang topan besar atau siklon tropis hadir dan mengahncurkan armada Mongol, pada Singasari mereka yang kemarin adalah pemburu tak kenal kata ampun justru diburu dan tewas dengan mengenaskan sedikit demi sedikit akibat strategi Raden Wijaya.

“Koq bisa?”

Perang di laut tak pernah terjadi. Laut Nusantara seolah kosong dari patroli kapal-kapal Singasari. Raja Kertanegara dikabarkan telah tewas akibat kudeta dari Jayakatwang.

Konon, Jaya Katwang menyerang Singasari saat pasukan utama dengan armada besarnya sedang melakukan ekpespedisi Pamalayu.

Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran utusan Mongol, Kertanegara mengirin pasukan Kebo Anabrang menuju kerajaan Darmasraya di Sumatera pada tahun 1275. Bisa jadi, ini adalah tentang konsolidasi atau persiapan menghadapi serbuan Mongol yang marah.

Singasari runtuh dan namun menantu Kertanegara yakni Raden Wijaya selamat. Kelak, Wijaya ini adalah pendiri kerajaan Majapahit.

Menjadi luar biasa adalah ketika justru Wijaya mampu memperalat pasukan Mongol ini untuk balas dendam pada Jayakatwang. Pasukan Mongol dengan segala kemegahannya yang datang dari tempat sangat jauh dan bertugas untuk menghukum mertuanya justru dimanfaatkan menjadi kaki tangan meruntuhkan kerajaan Kadiri dimana Jayakatwang sang pembunuh mertuanya adalah rajanya.

Ketika Kadiri akhirnya runtuh, Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol. Pasukan dengan pengalaman tempur luar biasa itu ternyata tak siap melawan taktik Wijaya. Dengan banyak jebakan-jebakan tak terduga, pasukan pemburu itu kini diburu. Jumlah mereka terus menyusut. Mereka terbunuh sedikit demi sedikit tanpa bisa berbuat banyak.

Dan ketika mereka akhirnya dapat kembali ke kapal, armada pasukan Jawa yang dipimpin oleh rakryan mantr Aria Adikara melakukan serangan dan menghancurkan sejumlah kapal Mongol.

Seperti jatuh tertimpa tangga, pasukan Yuan yang mundur secara kacau balau itu kini terdesak waktu. Musim angin muson sebagai satu-satunya cara dapat membawa mereka pulang akan segera berakhir. Terjebak di pulau Jawa untuk enam bulan berikutnya jelas bukan pilihan baik, mereka memutuskan pergi.

Akibat dari strategi yang dijalankan oleh Wijaya, pasukan Han Utara di bawah Jenderal Shi Bi kehilangan lebih dari 3.000 orang. Sementara, pasukan yang khusus dibentuk untuk tugas operasi ini, terbunuh dalam jumlah lebih banyak.

Konon secara keseluruhan ada sekitar 60% tentara Yuan terbunuh yakni sekitar 12.000-18.000 orang. Pun kapal yamg harus mereka tinggal. Kelak, teknologi meriam dari kapal-kapal itu membuat Majapahit mampu memproduksi Cetbang atau meriam khas Majapahit.

“Menang dengan licik koq bangga?”

Adakah kekuatan militer Iraq pada jaman Sadam Husein memiliki nilai lebih dari 10 persen kekuatan militer AS?

Sepertinya tidak. Namun itu tak lantas membuat militer AS berani menyerangnya bukan? Masih dibutuhkan embargo internasional selama bertahun tahun agar Iraq makin lemah dan baru serangan itu dilakukan.

Itu bukan soal curang atau tidak. Itu soal keputusan melakukan perang yang mutlak harus dimenangkan.

Perang tak pernah terjadi justru ketika kekuatan keduanya seimbang.

Raden Wijaya tak pernah mengundang perang datang padanya. Peranglah yang mendatanginya. Bila strategi itu terlihat tak elegant, adakah hal lebih penting dari usaha untuk menyelamatkan negaranya?

Dan para jenderal Mongol memang benar-benar tak berdaya melawan Raden Wijaya. Mereka pulang dalam kondisi mental yang hancur.

Pada Jepang, serangan kedua dengan armada lebih besar gagal. Kembali alam berpihak pada rakyat Jepang. Kamikaze sebagai istilah dewa yang menyelamatkan muncul dari kisah ini.

Orang-orang Jepang percaya topan itu telah dikirim oleh para dewa untuk melindungi mereka dari musuh. Mereka kemudian menyebut angin topan ini sebagai Kamikaze yang berarti angin dewa.

Pada Nusantara, dalam marahnya Kublai khan merencanakan invasi yang lain ke Nusantara. Rencanyanya, mereka akan datang lagi dengan kekuatan 100.000 tentara, tetapi rencana ini tak pernah terjadi. Bukan hanya dewa berpihak pada rakyat Nusantara, Kublai Khan keburu dipanggil TYME.

Akan tetapi, tokoh lain yang melewati Nusantara, yaitu Ibn Battuta dan Odoric dari Pordenone, melaporkan bahwa Nusantara kembali diserang beberapa kali oleh Mongol. Luar biasanya, serangan itu selalu berhasil digagalkan.

Selain itu, prasati Gunung Butak (tahun 1294 M) menyebutkan bahwa Aria Adikara berhasil mencegat invasi laut Dinasti Yuan selanjutnya. Bukan hanya mencegat, dia bahkan juga mengalahkannya sebelum mereka sampai.

Pada invasinya ke Nusantara, bukan hanya sekedar kalah, Mongol justru sangat dipermalukan. Sejarah keganasan tentara mereka yang konon sangat ditakuti tak berlaku di Nusantara. Seperti macan tak bertaring, mereka hanya buruan bagi pasukan Wijaya.

Perang melawan Nusantara adalah perang dengan hasil paling memalukan bagi sejarah bangsa penguasa duapertiga bumi itu.
.
.
.
RAHAYU
.
Karto Bugel


Prabu Jaya Katwang

Wayang sudah ada sejak sejarah Jawa kuno. Memiliki berbagai model dan bahan pembuatannya. Ada wayang beber, ada pula wayang suket, dan ada wayang lainnya. Menjadi tradisi yang berlangsung turun temurun hingga datanglah era wali songo.

Pada saat era Kanjeng Sunan Kalijaga berdakwah beliau hendak menggunakan wayang sebagai media dakwah. Mengingat wayang sarat akan cerita dan nilai luhur. Tentu dengan kepiawaian beliau bisa disempurnakan lagi dengan nilai-nilai Islami.

Namun, beliau diberi nasehat oleh Kanjeng Sunan Giri. Sebab, dalam ajaran Islam, menggambar dan melukis gambar hidup ada batas pelarangannya. Jadi, wayang yang dibuat haruslah tidak bertentangan dengan peraturan dalam Islam.

Lalu, Kanjeng Sunan Kalijaga memasrahkan pembuatan wayang kepada Kanjeng Sunan Giri. Beliau dipercaya lebih paham maksud dari batas larangan tersebut sampai di mana.

Kanjeng Sunan Giri-lah yang membuat bentuk-bentuk dasar wayang yang kita kenal saat ini. Bentuk-bentuk stilisasi bergaya surealis. Tampak seperti makhluk hidup tetapi jelas sekali bukan seperti wujud semestinya. Kalau jaman sekarang mirip dengan karikatur.

Karena itulah sebagai penghargaan pemimpin Dewa tertinggi dalam kisah wayang diberi nama oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai Sanghyang Girinata.

Versi lain menyebutkan, bahwa yang melobi dan membantu pembuatan karakter tokohnya ialah Kanjeng Sunan Kudus. Dan setelah melihat wujud wayang kulit yang baru, maka Kanjeng Sunan Giri tidak berkomentar lagi. Tidak ada statemen larangan dari beliau seperti di awalnya.

Lalu, Kanjeng Sunan Kalijaga sowan kepada Guru beliau, Kanjeng Sunan Bonang, memohon agar dibuatkan musik yang berbeda dari yang sudah ada. Dan musik itu merupakan bagian dari dakwah.

Maka dibuatlah musik khas wayang kulit berbunyi: nang ning nang nong nang ning nang nong nang ning nang nong ndang ndang ndang gung. Merupakan pesan: nang kene (entuk dadi opo wae) nang kono (entuk ngopo wae) nanging aja lali ndang baliyo nang Sang Hyang Agung. Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: orang itu bisa dan boleh saja menjadi apapun dimanapun berada tetapi jangan lupa segera kembali kepada Sang Yang Agung, Tuhan Yang Maha Tinggi (Gusti Allah subhanahu wata’ala).

Menurut catatan sejarah, wayang jenis ini pertama digelar di pelataran Masjid Agung Demak. Dengan kepiawaian pedalangan Kanjeng Sunan Kalijaga maka wayang kulit yang merupakan ijtihad kolektif para wali songo ini berhasil menyentuh kalbu penduduk Jawa.

Lalu, beberapa bagian cerita dan tembangnya disempurnakan lagi oleh Kanjeng Sunan Muria yang merupakan putra dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Dan kemudian turun temurun hingga saat ini. Menjadi khazanah asli bangsa Indonesia yang diakui oleh dunia internasional.

Jadi, membenturkan wayang kulit yang sudah dipoles oleh para wali penyebar agama Islam dengan ajaran Islam merupakan suatu hal yang sangat aneh.

Apalagi dengan dibumbui supaya wayang dimusnahkan dan para dalang hendaknya bertaubat. Tentu saja ini menimbulkan ketersinggungan luar biasa bagi bangsa Indonesia khususnya masyarakat Jawa.

Mari kita kawal wayang kulit sebagai bagian dari warisan karomah para wali ini dari tangan dan lisan jahil yang hendak memberangus tradisi kita. Wayang itu tradisi Indonesia yang sarat akan nilai-nilai Islami.

Mari kita bela, mari kita jaga, marinkita lestarikan. Wayang itu bukan sekedar warisan para wali songo tetapi juga amanah yang wajib kita estafetkan kepada anak cucu kita.

Salam Persatuan Indonesia 🇲🇨🇲🇨🇲🇨

Sumber: Shuniyya Ruhama


Sumedang, 6 November 1908

HARI itu.. tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tampak tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.

Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, melainkan memilih tempat disalah satu
rumah tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta penderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 6 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu.

Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatan yang sangat buruk, perempuan tua itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajar mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung. Sesekali mereka membawakan pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu, yang belakangan karena pengetahuan ilmu-ilmu agamanya disebut dengan Ibu Perbu.

Waktu itu tak ada yang menyangka bila
perempuan yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah “The Queen of Aceh Battle” dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Singa betina dengan rencong ditangan yang terjun langsung ke medan perang. Pahlawan sejati tanpa kompromi yg tidak bisa menerima daerahnya dijajah.

Hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai. Gadis kecil cantik dan cerdas dipanggil Cut Nyak dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang pendatang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Di usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.

Suasana perang yang meggelayuti atmosfir Aceh pecah ketika tanggal 1 April 1873 F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Tjoet Nyak tentu ada disana. Diantara tebasan rencong, pekik perang wanita perkasa itu dan dentuman meriam, dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara Belanda…

“..Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh ! Lihatlah !! Saksikan dengan matamu Masjid kita dibakar !! Tempat Ibadah kita dibinasakan !! Mereka menentang Allah !! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kaphe (kafir) Belanda !!”. Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata (Szekely Lulofs, 1951:59).

Perang Aceh adalah cerita keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir. Begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap hari.. setiap waktu dihabiskan untuk berperang dan berperang melawan kaphe-kaphe Belanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1870.

Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.

Tetapi bagi Tjoet Nyak, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, atau Teungku Ibrahim Lamnga suaminya, bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya, atau para lelaki Aceh. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat.. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.

Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah.. Berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain, kurang makan dan kurangnya perawatan membuat kondisi kesehatannya merosot. Kondisi pasukanpun tak jauh berbeda.

Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada 16 November 1905 Kaphe Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya.. Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak. Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan, Tjoet Nyak memang tak bisa berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet Nyak tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Perjuangan Tjoet Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing hingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.

Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang bernama emansipasi perempuan.

Tjoet Nyak, “The Queen of Aceh Battle”, wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya dari suatu realita jamannya.. berakhir sepi di negeri seberang.. Innalillahi wainnailaihi rojiun..

Sumber: IFK


Hukuman mati yang dijatuhkan Amangkurat II terhadap Trunojoyo menjadi bentuk eksekusi paling sadis dan mengerikan dalam sejarah bangsa di Indonesia. Raden Trunojoyo atau Trunajaya dihukum mati setelah dianggap menjadi pemberontak di era Kerajaan Mataram di masa Amangkurat I dan Amangkurat II.

Akhir hidup Trunojoyo yang masih cicit Sultan Agung yang tragis setelah kekalahan dalam perang melawan pasukan Mataram di bawah perintah Amangkurat II yang dibantu VOC pada 27 Desember 1679. Adipati Anom alias Amangkurat II balas menyerang Trunojoyo setelah menandatangani persekutuan dengan VOC.

Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara pada September 1677 yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.

Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Namun, Trunojoyo menolak mentah-mentah tawaran tersebut.

Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman mengerahkan kekuatan besar untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong. Di darat, VOC mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama laskar Amangkurat II.

Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 prajurit mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker.

Selanjutnya, Trunojoyo diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo. Eksekusi hukuman mati yang diterapkan kepada Trunojoyo sangat mengerikan.

Trunojoyo ditusuk oleh Amangkurat II dengan keris Kyai Balabar di jantung hingga menembus punggungnya. Tak puas dengan menusuk jantung, Amangkurat II mencabik-cabik tubuh Trunojoyo. Kebengisan Amangkurat II yang dibakar api dendam menjadi-jadi dengan memenggal kepala Trunojoyo.

Selanjutnya, kepala Trunojoyo diletakkan di depan bilik peraduan. Semua orang yang keluar masuk bilik peraduan harus menginjak kepala Trunojoyo. Kepala Trunojoyo kemudian dihancurkan dengan menggunakan lesung dan lumpang batu. Eksekusi hukuman mati terhadap Trunojoyo itu tercatat oleh Raffles dalam buku The Story of Java.

Sumber : Wikipedia
Hoëvell, W. R. V. (1849).Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie͏̈(dalam bahasa Belanda). Becht
Sartono Kartodirjo, Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme, 1973)
Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak karya Budino Herusatoto, 2008).

Asal Kata Belanda

Posted: 21 Januari 2022 in Blogroll

Ada pertanyaan yang buat orang Belanda sendiri bingung. Ya orang Belanda akan bingung bila di tanya “Asal kata Belanda itu dari mana?”

Mengapa orang indonesia menyebut Negara Netherland dengan sebutan Belanda? Padahal, bisa jadi orang Netherland kalau ditanya tentang Belanda juga bingung untuk menjawabnya.

Orang Netherland didunia Internasional dikenal dengan sebutan Dutch. Nama Dutch ini merujuk pada sebuah bahasa Jermanik barat yang dituturkan oleh 20 juta jiwa diseluruh dunia.

Namun beda dengan masyarakat indonesia yang menyebut orang-orang Netherland dengan sebutan Belanda, malah sebelumnya dengan sebutan Kompeni.

Kata Kompeni ini awalnya berasal dari orang-orang Jawa.Kata Kompeni sendiri berasal dari kata “Compagnie atau Company (perusahaan)” yang saat itu dikenal adalah “Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC”.Perusahaan Charter yang didirikan pada tahun 1602.

Masyarakat pribumi dari orang-orang jawa biasa menyebut kompeni karena susah dan mungkin agak ribet bagi lidah untuk mengucapkan kata Compagnie maka terbiasalah dengan kata Kompeni.

Sementara itu sebutan Belanda sendiri memiliki sejarah untuk rakyat indonesia. Banyak Versi yang menyebutkan awal mula kata Belanda. Ada yang berasal dari kata Holland. Karena Holland pada abad ke-17 adalah wilayah yang sangat populer dan sangat berkembang di negara Netherland.

Kemudian ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa kepopuleran istilah Belanda di indonesia diawali peristiwa Mudzakarah Ulama se-rumpun Melayu.

Ketika itu diadakan tidak jauh dari kota Palembang, tepatnya disekitar daerah Pagar Alam, pada tahun 1650 M Ulama yang berkumpul sekitar 50 orang dari berbagai daerah, seperti dari kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka dan sebagainya.Tokoh utama pertemuan itu adalah Syeck Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak), salah seorang cucu dari Sunan Gunung Jati.

Dari peristiwa Mudzakarah inilah munculnya istilah Belanda sebagai sebutan bagi bangsa Netherland, yang menjadi penjajah ketika itu. Adapun makna kata Belanda, berasal dari kata “Belahnde (belah=memecah, nde=keluarga).”

Dan dengan menyebarnya, istilah Belanda ke seluruh pelosok Nusantara, menjadikan bukti bahwa hasil Mudzakarah tahun 1650 M telah menjadi “Konsensus Nasional”.

Ada juga Teori lain yang muncul terkait dengan rambut pirang atau blonde dalam bahasa Inggrisnya dari orang-orang Netherland yang waktu itu menjajah indonesia.Kata blonde tersebut setelah disesuaikan dengan lidah pribumi menjadi Londo,lalu menjadi Belanda.

Sumber : http://inankito.blogspot.com/2013/06/sejarah-asal-kata-belanda-dari.html?m=1

Isi Perjanjian Mataram – VOC 1677

Posted: 17 November 2021 in Blogroll

  • Semua pelabuhan dari Karawang sampai ujung timur Jawa di serahkan dalam kekuasan VOC, yang berhak atas segala pendapatan dan hasilnya, sampai semua hutang Mataram dapat di lunasi, Mataram hanya berkuasa atas daerah – daerah itu sebagai “gaduhan” atau “gadean”
  • Batas daerah VOC di Jawa Barat digeser sampai sungai Pamanukan, Monopoli Impor tenunan dan permadani Persia oleh VOC di seluruh pelabuhan Mataram.
  • Penyerahan daerah sekitar kota Semarang kepada VOC sebagai Jaminan.
  • Pembagian daerah sekitar pesisir Jawa Tengah dan Timur atas dua daerah pemerintah an, yang bagian Barat di bawah Tumenggung Martalaya dari Tegal dan yang bagian Timur di bawah Tumenggung Martapura dari Jepara
  • Pengakuan Ulang atas batas-batas Batavia termasuk Priangan.
  • Pengakuan bahwa Cirebon merupakan daerah di bawah naungan VOC.
  • Diserahkannya separuh Madura bagian Timur
  • Ditegaskan nya kekuasaan VOC atas Semarang ( Tempat VOC akhirnya memindahkan markas besarnya di wilayah Oostkust, dari Jepara ke Semarang pada tahun 1708).
  • Diberikannya hak membangun benteng-benteng di manapun di wilayah Mataram
  • Diberikannya hak membeli beras sebanyak yang di inginkan.
  • Disahkanya Monopoli atas Impor Candu dan Tekstil.
  • 800 koyan (+- 1.300 metrik ton) beras gratis pertahun selama 25 tahun.
  • Ditempatkan nya kembali satu garnisun VOC di istana atas biaya Raja.
  • Larangan bagi orang-orang Jawa untuk berlayar lebih jauh dari Lombok ke arah timur, dari Kalimantan ke arah utara, atau dari arah Lampung ke arah Barat.

Sumber: https://www.facebook.com/groups/1856323141298631/permalink/2939771819620419/


Suasana perairan Labuan Bilik dekat Singapura panas… Angin laut seperti mati! Angin tidak berhembus…

Ditengah laut terlihat sebuah kapal berhenti… Sedang di atas langit, terlihat pesawat Amphibi Belanda berputar putar di atas kapal tersebut….

Kapal dengan nama lambung “The Outlaw” itu hanya bergoyang goyang dimainkan ombak… beberapa ABK terlihat di geladak kapal itu, sedang pesawat Belanda makin menukik dan mendekati kapal di bawah…

Sampai terdengar seruan dari pesawat Belanda dengan bahasa Belanda agar kapal di minta menjauh dari perairan itu….

Namun, sang Nahkoda kapal ” The Outlaw” nekat berbohong dengan mengatakan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.

Berkali kali pesawat Belanda itu menyerukan dengan pengeras suara… Berkali juga di jawab oleh kapal di bawah bahwa mereka tidak bisa ke mana mana…

Para ABK kapal dan Nahkoda dengan berdebar menunggu…. Mereka dengan jelas melihat dua juru senjata pesawat sudah mengarahkan senapan mesin ke arah “The Outlaw”, siap menarik pelatuknya.

Akan tetapi, keajaiban terjadi, usai memutar dan agak menukik, pesawat meninggalkan “The Outlaw”…….

Seketika sang Nahkoda kapal masuk ke kabin kemudian berlutut.

Ia berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, “The Outlaw” menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.

Sekelumit kisah penyelundupan perdana kapal ” The Outlaw ” yang di pimpin John Lie…

Tak akan terbayangkan oleh mereka jika saja pesawat Belanda itu tiba tiba menembak!…. Pasti kapal itu akan meledak karena mereka saat itu sedang membawa puluhan kotak amunsi dan ratusan senjata untuk di gunakan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Jahja Daniel Dharma alias John Lie (1911-1988) adalah penyelundup ulung di laut. “Hantu Selat Malaka” julukannya.

Ia satu-satunya milisi Indonesia keturunan Tionghoa yang meraih pangkat Laksamana Muda dan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia.

John Lie awal Februari 1946, ia dan teman-teman pelaut asal Indonesia yang bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) bisa pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.

Saat singgah di Singapura selama 10 hari, dia memanfaatkan waktu mempelajari sistem pembersihan ranjau laut dari Royal Navy di Pelabuhan Singapura. Ia juga menyegarkan ingatannya soal taktik perang laut dan peranan kapal logistik.

John Lie tidak sabar ingin bergabung bersama laskar perjuangan mengusir penjajah.

Dikutip dari Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran yang ditulis wartawan Kompas, Iwan Santosa, John Lie tidak segera bergabung bersama laskar pejuang sesampainya di Jakarta. Sebulan ia habiskan mengumpulkan uang untuk ke Yogyakarta.

Pada Mei 1946, John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. Ia diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis.

Dari Maramis itulah John Lie diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta.

Setibanya di hadapan M Pardi di Yogyakarta, John Lie dengan lancar menjelaskan maksud dan tujuannya untuk bergabung bersama perjuangan Indonesia di bidang maritim.

Pardi tertarik dengan pengalaman dan kemampuan John Lie. Mereka membahas pengalaman dan kemampuan John Lie dengan menggunakan bahasa Belanda.

“John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak,” ujar Pardi kala itu.

John Lie dengan tegas menjawab, “Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut. Karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya.”

Pardi menandatangani izin bergabungnya John Lie di ALRI. John Lie diangkat sebagai Kelasi III. Meski berpangkat rendah, banyak perwira ALRI yang bertanya perihal pengetahuan kelautan ke John Lie.

Pada 29 Agustus 1946, M Pardi menugaskan John Lie pergi ke Pelabuhan Cilacap, bergabung bersama ALRI di sana. John Lie berangkat ke Cilacap dengan menumpang gerbong pos di kereta api uap dari Yogyakarta.

September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring dan menyusun personalia pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia.

John Lie merupakan salah satu yang lolos seleksi. Ia dipercaya memimpin sebuah kapal cepat bernama “The Outlaw”.

Tidak disadari, perannya sebagai penyelundup dimulai seketika. Operasi perdana, “The Outlaw” melayari rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.

Pada Oktober 1947, John Lie mencatat “The Outlaw” memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.

Belakangan, diketahui pesawat Belanda pergi karena menipisnya bahan bakar. Misi perdana pun sukses. John Lie dan 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.

Keberhasilan “The Outlaw” menyelundupkan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura hingga Thailand terus terjadi pada misi-misi berikutnya.

Siaran stasiun radio BBC di London sampai-sampai menjuluki kapal tersebut dengan nama “The Black Speedboat”.

Sumber: Beny Rusmawan

K’tut Tantri

Posted: 4 Mei 2021 in Sejarah
Tag:, , ,

Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya
K’TUT TANTRI……

Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negri barunya itu…

Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan…..

“Saja tidak akan melupakan detik detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..

K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle.

Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson.

Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.

“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.

“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.

Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.

Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja.

Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.

Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.

“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”..

tulisnya dalam Revolt in Paradise.

Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.

Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak.

Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang.

Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya.

Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.

Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan.

Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.

Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.

Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.

Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.

Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik.

Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan.

Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.

Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu.

K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.

Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.

Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985.

Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.

Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis…..

“Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”……

Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya… Abu jenasah nya di tabur di pantai Kuta seperti pinta nya…

Sumber: Beny Rusmawan


“Sebagai sesama muslim, wajib bagi kita saling membantu”….

Ucap seorang perwira Jepang di hadapan Gus Wahid ( KH. Wahid Hasyim red) dan Kyai Wahab Chasbullah saat mereka berdua meminta tolong agar Kyai Haji Hasyim Ashari dilepaskan dari tahanan militer Jepang.

Ko? Seorang perwira Jepang.. muslim?…… ya orang hanya tahu Laksamana Maeda yang bersimpati pada perjuangan Indonesia…. Sebenarnya masih banyak lagi … salah satunya adalah Abdul Hamid Nobuharu Ono atau A Hamid ono…

Berkat bantuannya dan diplomasinya Kyai Hasyim Ashari bisa bebas…
Abdul Hamid Ono terlibat sangat aktif dalam upaya diplomasi yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim untuk membebaskan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul U’lama (PBNU), Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dari tahanan pihak militer Jepang. Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, itu ditahan oleh penguasa militer dari Negeri Matahari Terbit sejak tahun 1942 ketika mulai menjajah wilayah Hindia-Belanda (Indonesia).

Peran penting Abdul Hamid Ono sebagai pembuka jalur komunikasi dan diplomasi antara pihak Ponpes Tebuireng dengan para perwira Jepang terlihat jelas dalam buku Seri Tempo: Wahid Hasyim (Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan) yang menjelaskan bahwa ia adalah pejabat dinas rahasia Jepang yang dekat dengan keluarga Asy’ari. Beliau bertugas di Gresik, Jawa Timur, semasa pendudukan Belanda dan sering berkunjung ke Ponpes Tebuireng.

Hal senada juga dinyatakan oleh Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasyim, yang memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH. Wahid Hasyim, putra sulung Hadratus Syaikh, bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta. Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratus Syaikh dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah beliau digelandang dari Ponpes Tebuireng.
Dengan demikian perubahan pandangan Jepang terhadap organisasi keagamaan dengan tidak menganggapnya lagi sebagai ancaman terhadap pendudukan mereka di Indonesia merupakan hasil dari upaya lobi, diplomasi dan pendekatan intensif yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Abdul Hamid Ono terhadap para perwira pendudukan Jepang di Indonesia.
Sejak saat itu terjadi kolaborasi politik antara sebagian besar kalangan ummat Islam di Indonesia dengan para perwira pendudukan Jepang melalui pembentukan sejumlah organisasi dan birokrasi seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Kantor Urusan Agama (Shumubu), Majalah Soeara MIAI dan PETA (Pembela Tanah Air).

Bahkan pasukan paramiliter khusus untuk ummat Islam seperti Hizbullah (Laskar Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah) juga dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi pengganti MIAI, atas izin pemerintah Jepang.

Dalam photo bersejarah ini Hamid Nabuhoru Ono tampak hanya wajahnya sedikit sedang mendampingi Kyai Haji Hasyim Ashari sebagai penerjemah…

Sumber FB: Beny Rusmawan