Posts Tagged ‘nusantara’


PENDEKAR WANITA KETURUNAN TIONGHOA YANG MIRIP DENGAN KISAH MULAN YANG MENYAMAR JADI PRAJURIT LAKI-LAKI

Di daerah Kebumen, Jawa Tengah, ada sebuah makam tua yang berada di tengah sawah. Uniknya, di sana ada sebuah gapura bergaya arsitektur Tionghoa.

Dari keterangan sebuah nisan, makam tua itu adalah milik R.A K.R.A.T Kalapaking III, atau bisa disebut Raden Ayu Tan Peng Nio.

Raden Ayu Tan Peng Nio merupakan seorang pejuang Indonesia keturunan Tionghoa. Ia ikut berperang dalam perang Geger Pecinan melawan tentara Belanda.

Tan Peng Nio merupakan anak dari Jenderal Tan Wan Swee. Sebelumnya, Tan Wan Swee berselisih pendapat dan melakukan pemberontakan yang gagal terhadap Kaisar Qian Long (1711-1799) dari Dinasti Qing. Ia kemudian menitipkan Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati dan ahli bela diri. Setelah pemberontakan itu gagal, Tan Peng Nio menjalani pelarian bersama Lia Beeng Goe ke Singapura, lalu berpindah ke Sunda Kelapa (sekarang Jakarta).

Pada tahun 1741, terjadi sebuah huru-hara yang terkenal dengan nama Geger Pecinan. Saat itu, terjadi pembantaian terhadap etnis Tionghoa oleh tentara VOC. Saat pembantaian itu terjadi, Lia Beeng Goe dan Tan Peng Nio mengungsi ke arah timur hingga tiba di Kutowinangun, Kebumen. Di sana mereka bertemu Kiai Honggoyudho yang mahir membuat senjata.

Ketika terjadi peperangan dan penyerbuan selama 16 tahun (1741-1757) atau Perang Kuning oleh Pangeran Garendri, Tan Peng Nio dikabarkan ikut bergabung ke dalam 200 tentara bentukan KRAT Kolopaking II yang dikirim untuk ikut membantu pasukan Garendri. Saat itu, Tan Peng Nio dikabarkan menyamar menjadi prajurit laki-laki.

Peperangan itu kemudian berakhir dengan terjadinya Perjanjian Giyanti. Setelah perang berakhir, ia menikah dengan KRT Kolopaking III dan menetap di Kutowinangun, Kebumen. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang anak yaitu KRT Endang Kertawangsa dan RA Mulat Ningrum.

Tan Peng Nio menetap di Kebumen hingga akhir hayatnya. Saat meninggal, ia dikebumikan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kebumen. Makamnya dibangun dengna gaya Tionghoa. Hingga kini makamnya cukup sering didatangi peziarah.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/CgVxFs9t4NAbiHf7/?mibextid=oEMz7o


Apakah jamur akan memperparah kanker ?
Jawabannya ya – TAPI TIDAK SEMUA JAMUR.
Yang memperparah kanker hanya jamur yg mengandung karsinogen (pemicu kanker) yaitu racun Aflatoxin B1.
Racun alatoxin B1 dikeluarkan oleh jamur ASPERGILUS, jamur yg berwarna hitam yg sering muncul pada produk karbohidrat seperti roti yg disimpan terlalu lama.

Bagaimana dengan jamur pada tempe ?
Jamur pada tempe adalah jamur RHIZOPUS.
Jamur putih yang TIDAK mengeluarkan Aflatoxin B1, justru mengandung antibiotik alami Cystine yg menjaga mikroflora normal dalam tubuh dengan menghancurkan bakteri pembuat penyakit dalam usus.
Jamur Rhizopus juga berfungsi sebagai Prebiotik alami untuk mengefektifkan pengolahan makanan menjadi energi ATP bagi sel tubuh.

Bagaimana pengaruh jamur tempe pada sel kanker ?
Tempe dengan jamur Rhizopus justru MENGHAMBAT BANYAK KASUS KANKER.
Ada puluhan paper ilmiah internasional yg membahas tentang peranan tempe dalam mencegah + mengurangi kasus kanker di manusia.
Silahkan browsing sendiri dgn kata kunci TEMPEH, RHIZOPUS, CANCER.

Jadi hari ini kita belajar bersama tentang 3 hal :

  1. Jangan mudah percaya pada MITOS katanya tempe menyebabkan kanker
  2. Mencari data yg benar dari Paper ilmiah BUKAN DARI “KATANYA”
  3. Selalu kembali ke ilmu pengetahuan yang mencerahkan BUKAN ke ilmu yg menakuti tanpa dasar pemahaman ilmiah.

Sumber: https://www.facebook.com/share/kF8C6UhKJX4rRp6z/?mibextid=oFDknk


huruf dan bahasa khas kaum muslim di nusantara
.
Huruf pegon ialah abjad arab namun sudah terliterasi dengan bahasa bahasa lokal di nusantara . ..para ahli bahasa menyebut huruf pegon pertama kali di gunakan di pesantren Ampel denta milik sunan ampel di surabaya , bersamaan masuknya sunan ampel di majapahit tahun 1400 .
Pegon pertama kali di gunakan untuk bahasa jawa .
Saat itu masyarakat jawa masih menggunakan bahasa kawi dalam percakapan sehari hari ,
Para da’i dan mubaligh paham orang2 jawa sangat kuat dalam bidang sastra ,khususnya bahasa , tak mudah bagi mereka untuk beralih ke bahasa arab .
Sedangkan para sunan memerlukan pengantar agar Qur’an mudah diterjemahan ke bahasa Lokal.
Untuk itulah tulisan pegon berfungsi dengan baik.
Suluk sunan bonang salah satunya , tembang tembang nasehat bertuliskan abjad arab namun memakai bahasa jawa kawi.
Dari pesantren Ampel ,tulisan pegon menyebar ke berbagai penjuru nusantara dan berliterasi dengan bahasa setempat , ada yg memakai bahasa sunda ,melayu ,madura .karena asalnya dr ampel itulah sampai sekrg tulisan pegon sering disebut juga TULISAN JAWI.
versi lain tulisan pegon pertama kali di pakai sunan gunung jati , ada pula yg menyebut penemu tulisan Pegon ialah syehk nawai al bantani, seorang ulama besar kebanggaan masyarakat banten
.
( nu.or.id)


Daftar Tokoh yg pernah menjadi Mahapatih Kerajaan Majapahit. (Bersumber pada bukti primer prasasti maupun bukti sekunder berupa naskah/lontar sesudahnya)

Mahapatih atau Rakryan Mahapatih (Patih Amangkubhumi) adalah jabatan tertinggi setelah Sri Maharaja (raja besar) pada zaman kerajaan Nusantara kuno, khususnya pada era Majapahit. Jabatan ini setingkat dengan jabatan Perdana Menteri (mantri mukya).

Daftar Mahapatih Majapahit :

💂 Nambi (1294-1316)
💂 Dyah Halayuda (1316-1323)
💂 Arya Tadah (1323-1334)
💂 Gajah Mada (1334-1364)
💂 Lembu Nala (1365-1376)
💂 Gajah Enggon (1376-1394)
💂 Gajah Manguri (1394-1398)
💂 Gajah Lembana (1398-1410)
💂 Tanaka (1410-1430)
💂 Pu Wahana (1430-1498)
💂 Patih Udara (1498-1527)

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/pLiqFDDb5qNLDsk1/?mibextid=oEMz7o





Ketika lebih dari 500 kapal dan 40.000 pasukan harus dikerahkan oleh Dinasti Mongol saat menginvasi Jepang namun pada invasinya di Nusantara mereka justru harus perlu menerjunkan armada kapal perangnya hingga jumlah mencapai 1.000 kapal namun pasukan yang disertakannya hanya 20 hingga 30 ribu saja, ini tentu terkait strategi.

Ini terkait dengan kelebihan lawan yang berbeda-beda yang akan mereka hadapi kelak.

Dan terkait strategi perang, pada saat itu, Mongol adalah jagonya. Buktinya adalah Eropa Timur meliputi Rusia, Ukraina, Polandia, Bulgaria, hingga Asia Tengah dan Asia dimana China, India hingga Pakistan mereka gulung dalam satu libasan saja pada perang yang mereka kobarkan.

Dalam penyerbuannya ke Rusia melalui Azerbaijan, ke Georgia dan sepanjang Laut Kaspia, pada 1221 jenderal Mongolia Jebei dan Subedei memimpin pasukan yang berjumlah 20.000

Dengan ganas mereka melibas aliansi suku-suku Turki dari stepa, termasuk Alans , Cherkesz Kipchaks dan Cumans. Gabungan dari para Pangeran Rusia pun pada akhirnya masih tak mampu menolong mereka.

Pada 31 Mei 1223 Mongol meraih kemenangan atas pasukan koalisi dari beberapa negara Rusia di tepi sungai Kalchik atau Kalka di kawasan Oblast Donetsk Modern, Ukraina.

Terkait Irak, saat itu kota Bagdad adalah pusat peradaban dunia. Siapakah tak kenal Kekhalifahan Bani Abbasiyah dengan segala kebesarannya? Kiblat dunia dalam bidang filsafat, fisika hingga kedokteran mengarah pada kota itu. Abad keemasan Islam terpancang pada nama besar dinasti itu.

Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang termashur itu berakhir di tangan bangsa Mongol. Pada tahun 1258 serangan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menghancurkan Baghdad hingga rata dengan tanah dan tak menyisakan sedikitpun pengetahuan yang dihimpun selama ratusan tahun yang tersimpan di perpustakaan Baghdad.

Konon Kekhalifahan Bani Abbasiyah berlanjut di Kairo mulai tahun 1261 dibawah naungan Kesultanan Mamluk Mesir.

Hingga saat itu, bisa dibilang, tak ada kekuatan di sebelah mana pun di sudut bumi ini mampu membendung kegilaan Mongol. Konon katanya, duapertiga dari luas bumi dalam genggaman bangsa itu.

“Trus atas alasan apa Nusantara mampu membendung kekuatan Mongol?”

Saat mereka memilih mengerahkan 1.000 kapal ketika menyerbu kita dan pada invasi ke Jepang jumlah kapalnya jauh lebih sedikit padahal jumlah pasukan justru terbalik, tentu terkait antisipasi pada kekuatan laut kita bukan?

Dengan kata lain, keunggulan Nusantara di mata mereka adalah di laut dan maka satu-satunya cara meruntuhkan Nusantara hanya mungkin dapat dilakukan dengan kepemilikan armada yang lebih perkasa.

“Apakah dapat dibuktikan?”

Tiongkok adalah bangsa yang rajin membuat catatan. Salah satu buku abad ke-3 yang berjudul “Hal-Hal Aneh dari Selatan” karya Wan Chen adalah salah satunya .

Wan Chen pernah mendeskripsikan adanya sebuah kapal yang masuk ke Pelabuhan China di mana ada kapal yang mampu membawa 700 orang dengan lebih dari 10.000 kargo.

(Ingat, pada abad 3, sudah ada kapal yang membuatnya terperangah.)

Menurutnya, kapal itu berasal dari K’un-lun yang berarti “kepulauan di bawah angin” atau “negeri Selatan”. Kapal-kapal yang disebut K’un-lun po itu panjangnya lebih dari 50 meter dan tingginya di atas air adalah 4-7 meter.

Kapal raksasa itu kelak sering disebut atau dinamai dengan Jong atau Jung.

Pun I-Tsing (635 – 713) yang adalah seorang biksu Buddha Tionghoa yang sangat terkenal yang konon diberitakan pernah berkelana melalui jalur laut menuju ke India untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta.

Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan, ia menulis bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya. Pada catatannnya pun, dia menulis bahwa Sriwijaya sebagai negeri yang menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Masih ada banyak catatan mereka terkait negeri di selatan itu yang memiliki kapal besar dan kuat itu.

Adakah catatan-catatan itu bukti bahwa sudah sejak lama Nusantara adalah negeri penguasa lautan?

Menurut catatan sejarah, perkapalan laut China tidak ada sampai akhir dinasti Song yakni pendahulu dinasti Yuan (Mongol) dimana kaisar Kubilai Khan berkuasa. Pada masa sebelum itu kapal mereka adalah kapal sungai.

Di kemudian hari memang muncul kapal jung Cina Selatan yang menunjukkan ciri-ciri jong seperti kapal dari selatan. Lambungnya berbentuk V dan berujung ganda dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis.

Ini berbeda dengan kapal Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar. Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka, buritan dan haluan berbentuk persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit.

Bukankah dengan demikian itu dapat kita artikan bahwa teknologi perkapalan kita memang jauh sudah lebih dulu ada dan lebih maju dibanding mereka?

Dan fakta bahwa jalur perdagangan di Asia Tenggara di mana kondisi geografisnya yang berpulau pulau benar dikuasai oleh kapal kapal besar bernama Jung memang dapat dibuktikan dengan banyaknya catatan dari para pelaut Eropa.

Dan maka, adakah korelasi terkait armada perang Mongol yang harus lebih powerful saat menyerbu Nusantara dibanding saat menyerang Jepang menjadi lebih masuk akal?

“Kenapa harus menyerang Nusantara?”

Pada Musim Gugur 1274, sebagaimana dikutip dari Ancient Origins, bangsa Mongol melancarkan invasi pertama mereka ke Jepang, yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Bun’ei.

Sebelum mencoba untuk menginvasi Jepang, pasukan Mongol yang dipimpin Kubilai Khan telah lebih dulu berhasil menaklukkan Tiongkok pada tahun 1230 dan Korea pada tahun 1231.

Tak kurang dari 500 kapal dan 40.000 prajurit, sebagian besar etnis Tionghoa dan Korea.

Pada tahun 1293, berdasarkan naskah Yuan Shi, 20-30 ribu prajurit dikumpulkan dari Fujian, Jiangxi dan Huguang di Tiongkok selatan bersama dengan 1.000 kapal serta bekal untuk satu tahun teecatat dipersiapkan untuk menyerang Nusantara.

Pasukan itu dipimpin oleh Shi-bi, orang Mongol, Ike Mese, orang Uyghur yang berpengalaman dalam pelayaran ke luar negeri, dan Gaoxing, orang Tiongkok.

Pada perang di Jepang Mongol gagal karena alam tak berpihak padanya, pada perang dengan Singasari Mongol sangat dipermalukan.

Pada Jepang topan besar atau siklon tropis hadir dan mengahncurkan armada Mongol, pada Singasari mereka yang kemarin adalah pemburu tak kenal kata ampun justru diburu dan tewas dengan mengenaskan sedikit demi sedikit akibat strategi Raden Wijaya.

“Koq bisa?”

Perang di laut tak pernah terjadi. Laut Nusantara seolah kosong dari patroli kapal-kapal Singasari. Raja Kertanegara dikabarkan telah tewas akibat kudeta dari Jayakatwang.

Konon, Jaya Katwang menyerang Singasari saat pasukan utama dengan armada besarnya sedang melakukan ekpespedisi Pamalayu.

Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran utusan Mongol, Kertanegara mengirin pasukan Kebo Anabrang menuju kerajaan Darmasraya di Sumatera pada tahun 1275. Bisa jadi, ini adalah tentang konsolidasi atau persiapan menghadapi serbuan Mongol yang marah.

Singasari runtuh dan namun menantu Kertanegara yakni Raden Wijaya selamat. Kelak, Wijaya ini adalah pendiri kerajaan Majapahit.

Menjadi luar biasa adalah ketika justru Wijaya mampu memperalat pasukan Mongol ini untuk balas dendam pada Jayakatwang. Pasukan Mongol dengan segala kemegahannya yang datang dari tempat sangat jauh dan bertugas untuk menghukum mertuanya justru dimanfaatkan menjadi kaki tangan meruntuhkan kerajaan Kadiri dimana Jayakatwang sang pembunuh mertuanya adalah rajanya.

Ketika Kadiri akhirnya runtuh, Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol. Pasukan dengan pengalaman tempur luar biasa itu ternyata tak siap melawan taktik Wijaya. Dengan banyak jebakan-jebakan tak terduga, pasukan pemburu itu kini diburu. Jumlah mereka terus menyusut. Mereka terbunuh sedikit demi sedikit tanpa bisa berbuat banyak.

Dan ketika mereka akhirnya dapat kembali ke kapal, armada pasukan Jawa yang dipimpin oleh rakryan mantr Aria Adikara melakukan serangan dan menghancurkan sejumlah kapal Mongol.

Seperti jatuh tertimpa tangga, pasukan Yuan yang mundur secara kacau balau itu kini terdesak waktu. Musim angin muson sebagai satu-satunya cara dapat membawa mereka pulang akan segera berakhir. Terjebak di pulau Jawa untuk enam bulan berikutnya jelas bukan pilihan baik, mereka memutuskan pergi.

Akibat dari strategi yang dijalankan oleh Wijaya, pasukan Han Utara di bawah Jenderal Shi Bi kehilangan lebih dari 3.000 orang. Sementara, pasukan yang khusus dibentuk untuk tugas operasi ini, terbunuh dalam jumlah lebih banyak.

Konon secara keseluruhan ada sekitar 60% tentara Yuan terbunuh yakni sekitar 12.000-18.000 orang. Pun kapal yamg harus mereka tinggal. Kelak, teknologi meriam dari kapal-kapal itu membuat Majapahit mampu memproduksi Cetbang atau meriam khas Majapahit.

“Menang dengan licik koq bangga?”

Adakah kekuatan militer Iraq pada jaman Sadam Husein memiliki nilai lebih dari 10 persen kekuatan militer AS?

Sepertinya tidak. Namun itu tak lantas membuat militer AS berani menyerangnya bukan? Masih dibutuhkan embargo internasional selama bertahun tahun agar Iraq makin lemah dan baru serangan itu dilakukan.

Itu bukan soal curang atau tidak. Itu soal keputusan melakukan perang yang mutlak harus dimenangkan.

Perang tak pernah terjadi justru ketika kekuatan keduanya seimbang.

Raden Wijaya tak pernah mengundang perang datang padanya. Peranglah yang mendatanginya. Bila strategi itu terlihat tak elegant, adakah hal lebih penting dari usaha untuk menyelamatkan negaranya?

Dan para jenderal Mongol memang benar-benar tak berdaya melawan Raden Wijaya. Mereka pulang dalam kondisi mental yang hancur.

Pada Jepang, serangan kedua dengan armada lebih besar gagal. Kembali alam berpihak pada rakyat Jepang. Kamikaze sebagai istilah dewa yang menyelamatkan muncul dari kisah ini.

Orang-orang Jepang percaya topan itu telah dikirim oleh para dewa untuk melindungi mereka dari musuh. Mereka kemudian menyebut angin topan ini sebagai Kamikaze yang berarti angin dewa.

Pada Nusantara, dalam marahnya Kublai khan merencanakan invasi yang lain ke Nusantara. Rencanyanya, mereka akan datang lagi dengan kekuatan 100.000 tentara, tetapi rencana ini tak pernah terjadi. Bukan hanya dewa berpihak pada rakyat Nusantara, Kublai Khan keburu dipanggil TYME.

Akan tetapi, tokoh lain yang melewati Nusantara, yaitu Ibn Battuta dan Odoric dari Pordenone, melaporkan bahwa Nusantara kembali diserang beberapa kali oleh Mongol. Luar biasanya, serangan itu selalu berhasil digagalkan.

Selain itu, prasati Gunung Butak (tahun 1294 M) menyebutkan bahwa Aria Adikara berhasil mencegat invasi laut Dinasti Yuan selanjutnya. Bukan hanya mencegat, dia bahkan juga mengalahkannya sebelum mereka sampai.

Pada invasinya ke Nusantara, bukan hanya sekedar kalah, Mongol justru sangat dipermalukan. Sejarah keganasan tentara mereka yang konon sangat ditakuti tak berlaku di Nusantara. Seperti macan tak bertaring, mereka hanya buruan bagi pasukan Wijaya.

Perang melawan Nusantara adalah perang dengan hasil paling memalukan bagi sejarah bangsa penguasa duapertiga bumi itu.
.
.
.
RAHAYU
.
Karto Bugel


Prabu Jaya Katwang

Wayang sudah ada sejak sejarah Jawa kuno. Memiliki berbagai model dan bahan pembuatannya. Ada wayang beber, ada pula wayang suket, dan ada wayang lainnya. Menjadi tradisi yang berlangsung turun temurun hingga datanglah era wali songo.

Pada saat era Kanjeng Sunan Kalijaga berdakwah beliau hendak menggunakan wayang sebagai media dakwah. Mengingat wayang sarat akan cerita dan nilai luhur. Tentu dengan kepiawaian beliau bisa disempurnakan lagi dengan nilai-nilai Islami.

Namun, beliau diberi nasehat oleh Kanjeng Sunan Giri. Sebab, dalam ajaran Islam, menggambar dan melukis gambar hidup ada batas pelarangannya. Jadi, wayang yang dibuat haruslah tidak bertentangan dengan peraturan dalam Islam.

Lalu, Kanjeng Sunan Kalijaga memasrahkan pembuatan wayang kepada Kanjeng Sunan Giri. Beliau dipercaya lebih paham maksud dari batas larangan tersebut sampai di mana.

Kanjeng Sunan Giri-lah yang membuat bentuk-bentuk dasar wayang yang kita kenal saat ini. Bentuk-bentuk stilisasi bergaya surealis. Tampak seperti makhluk hidup tetapi jelas sekali bukan seperti wujud semestinya. Kalau jaman sekarang mirip dengan karikatur.

Karena itulah sebagai penghargaan pemimpin Dewa tertinggi dalam kisah wayang diberi nama oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai Sanghyang Girinata.

Versi lain menyebutkan, bahwa yang melobi dan membantu pembuatan karakter tokohnya ialah Kanjeng Sunan Kudus. Dan setelah melihat wujud wayang kulit yang baru, maka Kanjeng Sunan Giri tidak berkomentar lagi. Tidak ada statemen larangan dari beliau seperti di awalnya.

Lalu, Kanjeng Sunan Kalijaga sowan kepada Guru beliau, Kanjeng Sunan Bonang, memohon agar dibuatkan musik yang berbeda dari yang sudah ada. Dan musik itu merupakan bagian dari dakwah.

Maka dibuatlah musik khas wayang kulit berbunyi: nang ning nang nong nang ning nang nong nang ning nang nong ndang ndang ndang gung. Merupakan pesan: nang kene (entuk dadi opo wae) nang kono (entuk ngopo wae) nanging aja lali ndang baliyo nang Sang Hyang Agung. Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: orang itu bisa dan boleh saja menjadi apapun dimanapun berada tetapi jangan lupa segera kembali kepada Sang Yang Agung, Tuhan Yang Maha Tinggi (Gusti Allah subhanahu wata’ala).

Menurut catatan sejarah, wayang jenis ini pertama digelar di pelataran Masjid Agung Demak. Dengan kepiawaian pedalangan Kanjeng Sunan Kalijaga maka wayang kulit yang merupakan ijtihad kolektif para wali songo ini berhasil menyentuh kalbu penduduk Jawa.

Lalu, beberapa bagian cerita dan tembangnya disempurnakan lagi oleh Kanjeng Sunan Muria yang merupakan putra dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Dan kemudian turun temurun hingga saat ini. Menjadi khazanah asli bangsa Indonesia yang diakui oleh dunia internasional.

Jadi, membenturkan wayang kulit yang sudah dipoles oleh para wali penyebar agama Islam dengan ajaran Islam merupakan suatu hal yang sangat aneh.

Apalagi dengan dibumbui supaya wayang dimusnahkan dan para dalang hendaknya bertaubat. Tentu saja ini menimbulkan ketersinggungan luar biasa bagi bangsa Indonesia khususnya masyarakat Jawa.

Mari kita kawal wayang kulit sebagai bagian dari warisan karomah para wali ini dari tangan dan lisan jahil yang hendak memberangus tradisi kita. Wayang itu tradisi Indonesia yang sarat akan nilai-nilai Islami.

Mari kita bela, mari kita jaga, marinkita lestarikan. Wayang itu bukan sekedar warisan para wali songo tetapi juga amanah yang wajib kita estafetkan kepada anak cucu kita.

Salam Persatuan Indonesia 🇲🇨🇲🇨🇲🇨

Sumber: Shuniyya Ruhama


Sumedang, 6 November 1908

HARI itu.. tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tampak tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.

Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, melainkan memilih tempat disalah satu
rumah tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta penderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 6 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu.

Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatan yang sangat buruk, perempuan tua itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajar mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung. Sesekali mereka membawakan pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu, yang belakangan karena pengetahuan ilmu-ilmu agamanya disebut dengan Ibu Perbu.

Waktu itu tak ada yang menyangka bila
perempuan yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah “The Queen of Aceh Battle” dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Singa betina dengan rencong ditangan yang terjun langsung ke medan perang. Pahlawan sejati tanpa kompromi yg tidak bisa menerima daerahnya dijajah.

Hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai. Gadis kecil cantik dan cerdas dipanggil Cut Nyak dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang pendatang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Di usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.

Suasana perang yang meggelayuti atmosfir Aceh pecah ketika tanggal 1 April 1873 F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Tjoet Nyak tentu ada disana. Diantara tebasan rencong, pekik perang wanita perkasa itu dan dentuman meriam, dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara Belanda…

“..Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh ! Lihatlah !! Saksikan dengan matamu Masjid kita dibakar !! Tempat Ibadah kita dibinasakan !! Mereka menentang Allah !! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kaphe (kafir) Belanda !!”. Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata (Szekely Lulofs, 1951:59).

Perang Aceh adalah cerita keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir. Begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap hari.. setiap waktu dihabiskan untuk berperang dan berperang melawan kaphe-kaphe Belanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1870.

Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.

Tetapi bagi Tjoet Nyak, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, atau Teungku Ibrahim Lamnga suaminya, bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya, atau para lelaki Aceh. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat.. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.

Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah.. Berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain, kurang makan dan kurangnya perawatan membuat kondisi kesehatannya merosot. Kondisi pasukanpun tak jauh berbeda.

Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada 16 November 1905 Kaphe Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya.. Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak. Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan, Tjoet Nyak memang tak bisa berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet Nyak tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Perjuangan Tjoet Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing hingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.

Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang bernama emansipasi perempuan.

Tjoet Nyak, “The Queen of Aceh Battle”, wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya dari suatu realita jamannya.. berakhir sepi di negeri seberang.. Innalillahi wainnailaihi rojiun..

Sumber: IFK


Hukuman mati yang dijatuhkan Amangkurat II terhadap Trunojoyo menjadi bentuk eksekusi paling sadis dan mengerikan dalam sejarah bangsa di Indonesia. Raden Trunojoyo atau Trunajaya dihukum mati setelah dianggap menjadi pemberontak di era Kerajaan Mataram di masa Amangkurat I dan Amangkurat II.

Akhir hidup Trunojoyo yang masih cicit Sultan Agung yang tragis setelah kekalahan dalam perang melawan pasukan Mataram di bawah perintah Amangkurat II yang dibantu VOC pada 27 Desember 1679. Adipati Anom alias Amangkurat II balas menyerang Trunojoyo setelah menandatangani persekutuan dengan VOC.

Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara pada September 1677 yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.

Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Namun, Trunojoyo menolak mentah-mentah tawaran tersebut.

Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman mengerahkan kekuatan besar untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong. Di darat, VOC mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama laskar Amangkurat II.

Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 prajurit mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker.

Selanjutnya, Trunojoyo diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo. Eksekusi hukuman mati yang diterapkan kepada Trunojoyo sangat mengerikan.

Trunojoyo ditusuk oleh Amangkurat II dengan keris Kyai Balabar di jantung hingga menembus punggungnya. Tak puas dengan menusuk jantung, Amangkurat II mencabik-cabik tubuh Trunojoyo. Kebengisan Amangkurat II yang dibakar api dendam menjadi-jadi dengan memenggal kepala Trunojoyo.

Selanjutnya, kepala Trunojoyo diletakkan di depan bilik peraduan. Semua orang yang keluar masuk bilik peraduan harus menginjak kepala Trunojoyo. Kepala Trunojoyo kemudian dihancurkan dengan menggunakan lesung dan lumpang batu. Eksekusi hukuman mati terhadap Trunojoyo itu tercatat oleh Raffles dalam buku The Story of Java.

Sumber : Wikipedia
Hoëvell, W. R. V. (1849).Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie͏̈(dalam bahasa Belanda). Becht
Sartono Kartodirjo, Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme, 1973)
Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak karya Budino Herusatoto, 2008).