Posts Tagged ‘indonesia’


Apakah jamur akan memperparah kanker ?
Jawabannya ya – TAPI TIDAK SEMUA JAMUR.
Yang memperparah kanker hanya jamur yg mengandung karsinogen (pemicu kanker) yaitu racun Aflatoxin B1.
Racun alatoxin B1 dikeluarkan oleh jamur ASPERGILUS, jamur yg berwarna hitam yg sering muncul pada produk karbohidrat seperti roti yg disimpan terlalu lama.

Bagaimana dengan jamur pada tempe ?
Jamur pada tempe adalah jamur RHIZOPUS.
Jamur putih yang TIDAK mengeluarkan Aflatoxin B1, justru mengandung antibiotik alami Cystine yg menjaga mikroflora normal dalam tubuh dengan menghancurkan bakteri pembuat penyakit dalam usus.
Jamur Rhizopus juga berfungsi sebagai Prebiotik alami untuk mengefektifkan pengolahan makanan menjadi energi ATP bagi sel tubuh.

Bagaimana pengaruh jamur tempe pada sel kanker ?
Tempe dengan jamur Rhizopus justru MENGHAMBAT BANYAK KASUS KANKER.
Ada puluhan paper ilmiah internasional yg membahas tentang peranan tempe dalam mencegah + mengurangi kasus kanker di manusia.
Silahkan browsing sendiri dgn kata kunci TEMPEH, RHIZOPUS, CANCER.

Jadi hari ini kita belajar bersama tentang 3 hal :

  1. Jangan mudah percaya pada MITOS katanya tempe menyebabkan kanker
  2. Mencari data yg benar dari Paper ilmiah BUKAN DARI “KATANYA”
  3. Selalu kembali ke ilmu pengetahuan yang mencerahkan BUKAN ke ilmu yg menakuti tanpa dasar pemahaman ilmiah.

Sumber: https://www.facebook.com/share/kF8C6UhKJX4rRp6z/?mibextid=oFDknk


Orang Jawa juga ada Tidak percaya pencapaian Leluhur mereka..?!

Begitulah sebab sudah terpaut jauh dan tersungkur dalam kuasa kolonialisme. Dimana Penjajah menyebut dengan istilah inlander.

Leluhur Jawa Berlayar ke bengali Teluk Aden bukanlah hal yang asing. Berperang ke indocina juga bukan hal yang tidak pernah terjadi. Sejak Zaman Medang hingga Majapahit leadership Jawa selalu meningkatkan kemampuan pertanian, metalurgi, perkapalan, Hukum2 seperti Kutaramanawa dan Toleransi antar umat berAgama.

Kapal kapal besar jawa dan pelayaran ke tempat tempat Jauh mereka tercatat dalam prasasti2 di indocina,suma oriental, catatan general shibi dan lain lain.

Kutipan suma oriental ” Dikabarkan bahwa dulu, wilayah kekuasaan Negeri Jawa luas hingga mencapai Maluku (Maluco) yang ada di sebelah Timur dan sebagian besar wilayah barat. Negeri Jawa bahkan nyaris menguasai pulau Sumatra dan pulau — pulau lain yang dikenal oleh orang — orang Jawa.
Hal ini berlangsung untuk waktu yang lama, kurang lebih seratus tahun, hingga akhirnya kekuatan Negeri Jawa mulai berkurang dan keadaannya menjadi seperti sekarang, sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini.
Di masa itu, Negeri Jawa sangat berkuasa karena kekuatan dan kekayaan yang dimilikinya, juga karena kerajaan ini melakukan pelayaran ke berbagai tempat yang sangat jauh—mereka menegaskan bahwa kerajaan ini berlayar hingga ke Aden dan bahwa perdagangannya yang terbesar dilakukan di Bonuaquelim, Bengal, dan Pasai—di mana mereka menguasai seluruh perdagangan yang ada.
Seluruh pelautnya merupakan orang pagan, mereka mengumpulkan para pedagang yang membawa banyak komoditas di sepanjang pesisir pantai. Hasilnya, tidak ada satu pun tempat yang dikabarkan mampu menyamai kebesaran dan kekayaan lokasi ini.
Pedagang — pedagang tersebut terdiri dari orang Cina, Arab, Persia, Gujarat, Bengal .

Pembangunan Maritim yang bertahap sejak era Medang meskipun diwarnai jatuh bangun seperti Mahapralaya medang, kudeta Jayakatwang, dan lain lain tidaklah mengurangi peningkatan teknologi Jawa. Penemuan2 baru seperti senjata cetbang, gamelan dari metalurgi tidak hancur.

Kehancuran itu terjadi ketika paregreg. Gambaran paregreg harus mendapat alternatif history suatu perang yang menghancurkan Armada2 jung besar Jawa dan Jawa sulit kembali pulih seperti sedia kala.keadaan Jawa telah seperti yang bisa di baca pada catatan Ma huan.

kapal kapal besar jawa lebih besar dari kapal Vasa dari Denmark yang dibangun tahun 1600an berbobot 1200 ton kemudian tenggelam namun masih utuh dan diangkat kemudian diMuseumkan.KAPAL besar Jawa tersisa satu kapal yang dibangun diperkirakan dibangun selama tiga tahun pada masa Demak hendak menyerang portugis diMalaka itu terdapat dalam catatan portugis lebih besar dari kapal2 portugis diMalaka.

Kapal kapal itu pernah dijumpai oleh jendral Yuan yaitu shibi yang berjumalh sekitar 100 Kapal besar berkepala setam dipimpin Kebo Mundarang pengikut Raja Jayakatwang. Jumlah itu belum seluruhnya karna armada Pamalayu pimpinan Kebo Anabrang masih diBumi Melayu.

pada masa sebelum kejatuhan kejayaan Mataram, catatan orang orang belanda masih mencatat rakyat mataram yang memiliki beraneka ragam senjata termasuk senjata api.

kemerdekaan pembangunan Manusia itu luruh dibawah kekuasaan Batavia, yang membuat pelarangan jangkauan berlayar, pembatasan tonase kapal, pada pesisir Jawa. Jumlah populasi Jawa yang besar yang sebelumnya merupakan kekuatan para Raja Jawa dalam kekuasanya itu dijadikan pekerja oleh belanda bagi perkebunan2 milik mereka seperti diSumateraTimur, Suriname juga diperkebunan Belanda diPulau Jawa. pendidikan tidak diperhatikan hingga datang protes dari pegiat kemanusiaan belanda akibat ekploitasi yang kelewat batas kemanusiaan diHindia belanda maka melahirkan politik etis. atau politik balas budi yang sebenarnya juga diarahkan mendidik kaum cerdik bumiputera untuk menjadi pegawai kolonial. Namun beberapa dari mereka justru tersadar dan memilih tidak menggunakan ijazah mereka untuk mencari hidup nyaman di bawah kolonialisme tetapi membebaskan suku bangsanya dari kegelapan terbelenggu Raksasa kolonial yang diawali sebuah perusahanan Internasional Voc.

dan kini ketika terdapat cerita pencapaian leluhur mereka suatu masa dahulu pernah perkasa berlayar berdagang, berperang dan berkuasa pada banyak tempat orang jawa sendiri pun menjadi tidak percaya apakah mungkin Jawa dahulu mampu melakukanya.

Meskipun begitu jejak jejaknya tercatat
berikut ini daftar catatan pencapaian Leluhur Jawa.

Negarakertagama:uraian semua wilayah Majapahit.
Pararaton :sumpah palapa hingga selesai.

Hikayat hikayat: (pasai,lamalera:bercerita perjalanan Armada Majapahit ke timur nusantara, Banjar, Datu Banua lima, sulatus salatin).

Kronik2 dinasti cina seperto kronik Ming, Yuan mendukung data data klaim dalam negarakertagama

sebuah buku yang mengisahkan balatentara Majapahit berada di ayuthaya dan Kamboja.

pembahasan gelar Sundarapandya dewa adiswara pada Raja Jayanegara dan kaitan Majapahit terhadap srilanka dan sebagian india. juga ada pada web nusantara review.

[INILAH BEBERAPA BUKTI-BUKTI BAHWA MAJAPAHIT (ATAU WILWATIKTA) DAPAT MEMPERSATUKAN NUSANTARA

Sumber : Catatan-catatan Sejarah dari Luar Jawa

  1. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) -> Menyinggung bahwa Majapahit memiliki kekuasaan yg besar dan menyebutkan tentang banyaknya raja-raja Nusantara yg tunduk pada Raja Majapahit. Juga mengabadikan kisah penyerangan Majapahit ke Singapura yg meruntuhkan Kerajaan Tumasik. Serangan ini merupakan permintaan dari seorang pejabat (Rajuna Tapa) yg ingin membalas dendam pada Raja Singapura (Parameswara) atas perlakuannya terhadap putri sang pejabat. Pasca Tumasik runtuh, Raja Singapura berhasil lolos ke Semenanjung Melayu dan kemudian mendirikan Kerajaan Malaka.
  2. Hikayat Raja-raja Pasai -> Mengisahkan tentang penyerangan Majapahit ke Samudra Pasai yg dipicu oleh sebuah tragedi yg menewaskan seorang putri Majapahit & seorang pangeran Pasai yg saling jatuh cinta. Hikayat ini juga menyebutkan tentang ekspedisi penaklukan Majapahit yg dimulai dari barat ke timur, bahkan juga menuliskan dengan cukup rinci daftar negeri-negeri di Nusantara yg tunduk pada Majapahit. Hikayat yg sama juga menyinggung tentang Perang Majapahit-Singapura, serta Pertempuran Padang Sibusuk, yakni serangan Majapahit ke Minangkabau.
  3. Ming Shilu -> Kronik Kekaisaran Ming Cina yg dalam salah satu babnya menyinggung tentang negeri-negeri di Sanfotsi (Sumatra) yaitu Palembang dan Jambi (Dharmasraya) yg mengirim utusan kepada Kaisar Cina untuk meminta pengakuan kemerdekaan mereka. Sang Kaisar membalas dengan mengirim sejumlah perwakilan Cina untuk meresmikan kemerdekaan kedua negeri tersebut. Tetapi dalam perjalanan, mereka dibunuh oleh prajurit Jawa yg dikirim oleh Raja Majapahit. Sang Raja kemudian mengirim utusan kepada Kaisar Cina untuk memberitahunya bahwa Palembang dan Jambi merupakan negara bawahan Majapahit. Mengetahui hal ini, Kaisar Cina segera menarik kembali dukungannya terhadap kedua negeri tersebut.
  4. Alamat Zaman Ketahtaan Nagari Baruni -> Kronik sejarah Brunei yg menyinggung bahwa Kerajaan Brunei (sebelum menjadi kesultanan) pernah menjadi bawahan Majapahit.
  5. Yingyai Shenglan -> Catatan perjalanan seorang pelaut Muslim Cina yg ikut dalam ekspedisi laut Ming pimpinan Laksamana Cheng Ho. Ia menuliskan pengalamannya kala mengunjungi Brunei, dimana Raja Brunei berusaha meminta bantuan Kaisar Cina untuk membebaskan negerinya dari Majapahit, namun dicegah oleh seorang perwakilan Jawa yg berada di antara para pejabatnya saat itu.
  6. Pasak Negeri Kapuas -> Sebuah buku tentang sejarah Kalimantan Barat yg menyinggung tentang ekspedisi penaklukan Majapahit ke negeri-negeri di sepanjang sungai Kapuas oleh pasukan pimpinan Patih Lohgender. Juga menuliskan tentang pernikahan antara Patih Lohgender dengan seorang putri dari Kerajaan Sintang, Dara Juanti. Buku yg sama juga menyebutkan tentang ekspedisi penaklukan Kesultanan Demak terhadap daerah-daerah kekuasaan Majapahit di Kalimantan Barat, yakni Sukadana, Sintang, Sambas, serta Sanggau dan Sekadau. Buku ini mencatat bahwa penyerangan ini dipimpin langsung oleh Pati Unus, Sultan Demak ke-2.
  7. Wadian Nan Sarunai Usak Jawa -> Syair ratapan suku Dayak Maanyan dari Kalimantan Selatan yg mengenang peristiwa hancurnya negeri mereka, Kerajaan Nan Sarunai oleh invasi Majapahit.
  8. Kronik Kutai -> Menyebutkan tentang kunjungan Raja Aji Maharaja Sultan dari Kutai Kartanegara ke keraton Majapahit di Trowulan untuk mempelajari ilmu adat istiadat dan tata cara pengelolaan pemerintahan kerajaan dari Majapahit, untuk diterapkan di negerinya. Ia didampingi oleh kakaknya (Maharaja Sakti) dan Raja Kutai Martadipura (Maharaja Indra Mulya). Di Trowulan, mereka (kecuali Indra Mulya yg memutuskan kembali ke negerinya tanpa alasan yg jelas) dibina langsung oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Raja Sultan dan kakaknya juga dikisahkan sempat membantu memadamkan sebuah pemberontakan. Keduanya lalu kembali ke Kutai didampingi seorang Patih Jawa sebagai perwakilan Majapahit di kedua negeri itu. Kehadiran seorang Patih dari Jawa sebagai wakil Majapahit atas negara bawahan maka menunjukkan bahwa wilayah Kutai telah tunduk secara sukarela pada Majapahit.
  9. Hikayat Negeri Butuni -> Kronik sejarah Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara yg mengabadikan kisah pernikahan antara penguasa Buton, Ratu Wa Kaa Kaa dengan seorang pangeran Majapahit, Raden Sibatara. Di sejumlah daerah di Sulawesi (terutama di bagian selatan), suatu negeri yg menikahkan putrinya dengan pangeran dari negeri lain dianggap sebagai pengakuan tunduk sebagai bawahan, karena merupakan upeti atas tunduk secara suka rela, sebaliknya jika menikahkan pangeran dengan putri negeri lain artinya hanya hubungan persahabatan biasa. Hikayat ini juga menyinggung tentang kisah kunjungan Bancapatola atau Bataraguru, Raja Buton ke-3, ke keraton Trowulan untuk menghadap Raja Majapahit sebagai tanda kunjungan negara bawahan kepada negara atasannya.
  10. Kisah Perang Maya -> Hikayat dari Nusa Tenggara Timur yg mengisahkan tentang serangan Majapahit yg menghancurkan Kerajaan Munaseli di pulau Pantar. Serangan ini bermula dari rivalitas antara Kerajaan Pandai dan Bernusa dengan Kerajaan Munaseli, yg memuncak pada pecahnya peperangan. Pandai dan Bernusa kemudian meminta bantuan Majapahit untuk melawan Munaseli, dan berakhir dengan hancurnya negeri tersebut. Majapahit akhirnya dapat menakhlukkannya.]

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02MyT5PZR1Vb4btDh8MNYL451ETV7atJ5QGq3P6SwV5evpbvizatR4L5jATbHA1GPXl&id=100063615005106&mibextid=Nif5oz



Prabu Jaya Katwang

Wayang sudah ada sejak sejarah Jawa kuno. Memiliki berbagai model dan bahan pembuatannya. Ada wayang beber, ada pula wayang suket, dan ada wayang lainnya. Menjadi tradisi yang berlangsung turun temurun hingga datanglah era wali songo.

Pada saat era Kanjeng Sunan Kalijaga berdakwah beliau hendak menggunakan wayang sebagai media dakwah. Mengingat wayang sarat akan cerita dan nilai luhur. Tentu dengan kepiawaian beliau bisa disempurnakan lagi dengan nilai-nilai Islami.

Namun, beliau diberi nasehat oleh Kanjeng Sunan Giri. Sebab, dalam ajaran Islam, menggambar dan melukis gambar hidup ada batas pelarangannya. Jadi, wayang yang dibuat haruslah tidak bertentangan dengan peraturan dalam Islam.

Lalu, Kanjeng Sunan Kalijaga memasrahkan pembuatan wayang kepada Kanjeng Sunan Giri. Beliau dipercaya lebih paham maksud dari batas larangan tersebut sampai di mana.

Kanjeng Sunan Giri-lah yang membuat bentuk-bentuk dasar wayang yang kita kenal saat ini. Bentuk-bentuk stilisasi bergaya surealis. Tampak seperti makhluk hidup tetapi jelas sekali bukan seperti wujud semestinya. Kalau jaman sekarang mirip dengan karikatur.

Karena itulah sebagai penghargaan pemimpin Dewa tertinggi dalam kisah wayang diberi nama oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai Sanghyang Girinata.

Versi lain menyebutkan, bahwa yang melobi dan membantu pembuatan karakter tokohnya ialah Kanjeng Sunan Kudus. Dan setelah melihat wujud wayang kulit yang baru, maka Kanjeng Sunan Giri tidak berkomentar lagi. Tidak ada statemen larangan dari beliau seperti di awalnya.

Lalu, Kanjeng Sunan Kalijaga sowan kepada Guru beliau, Kanjeng Sunan Bonang, memohon agar dibuatkan musik yang berbeda dari yang sudah ada. Dan musik itu merupakan bagian dari dakwah.

Maka dibuatlah musik khas wayang kulit berbunyi: nang ning nang nong nang ning nang nong nang ning nang nong ndang ndang ndang gung. Merupakan pesan: nang kene (entuk dadi opo wae) nang kono (entuk ngopo wae) nanging aja lali ndang baliyo nang Sang Hyang Agung. Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: orang itu bisa dan boleh saja menjadi apapun dimanapun berada tetapi jangan lupa segera kembali kepada Sang Yang Agung, Tuhan Yang Maha Tinggi (Gusti Allah subhanahu wata’ala).

Menurut catatan sejarah, wayang jenis ini pertama digelar di pelataran Masjid Agung Demak. Dengan kepiawaian pedalangan Kanjeng Sunan Kalijaga maka wayang kulit yang merupakan ijtihad kolektif para wali songo ini berhasil menyentuh kalbu penduduk Jawa.

Lalu, beberapa bagian cerita dan tembangnya disempurnakan lagi oleh Kanjeng Sunan Muria yang merupakan putra dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Dan kemudian turun temurun hingga saat ini. Menjadi khazanah asli bangsa Indonesia yang diakui oleh dunia internasional.

Jadi, membenturkan wayang kulit yang sudah dipoles oleh para wali penyebar agama Islam dengan ajaran Islam merupakan suatu hal yang sangat aneh.

Apalagi dengan dibumbui supaya wayang dimusnahkan dan para dalang hendaknya bertaubat. Tentu saja ini menimbulkan ketersinggungan luar biasa bagi bangsa Indonesia khususnya masyarakat Jawa.

Mari kita kawal wayang kulit sebagai bagian dari warisan karomah para wali ini dari tangan dan lisan jahil yang hendak memberangus tradisi kita. Wayang itu tradisi Indonesia yang sarat akan nilai-nilai Islami.

Mari kita bela, mari kita jaga, marinkita lestarikan. Wayang itu bukan sekedar warisan para wali songo tetapi juga amanah yang wajib kita estafetkan kepada anak cucu kita.

Salam Persatuan Indonesia 🇲🇨🇲🇨🇲🇨

Sumber: Shuniyya Ruhama


Sumedang, 6 November 1908

HARI itu.. tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tampak tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.

Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, melainkan memilih tempat disalah satu
rumah tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta penderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 6 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu.

Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatan yang sangat buruk, perempuan tua itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajar mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung. Sesekali mereka membawakan pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu, yang belakangan karena pengetahuan ilmu-ilmu agamanya disebut dengan Ibu Perbu.

Waktu itu tak ada yang menyangka bila
perempuan yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah “The Queen of Aceh Battle” dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Singa betina dengan rencong ditangan yang terjun langsung ke medan perang. Pahlawan sejati tanpa kompromi yg tidak bisa menerima daerahnya dijajah.

Hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai. Gadis kecil cantik dan cerdas dipanggil Cut Nyak dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang pendatang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Di usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.

Suasana perang yang meggelayuti atmosfir Aceh pecah ketika tanggal 1 April 1873 F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Tjoet Nyak tentu ada disana. Diantara tebasan rencong, pekik perang wanita perkasa itu dan dentuman meriam, dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara Belanda…

“..Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh ! Lihatlah !! Saksikan dengan matamu Masjid kita dibakar !! Tempat Ibadah kita dibinasakan !! Mereka menentang Allah !! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kaphe (kafir) Belanda !!”. Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata (Szekely Lulofs, 1951:59).

Perang Aceh adalah cerita keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir. Begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap hari.. setiap waktu dihabiskan untuk berperang dan berperang melawan kaphe-kaphe Belanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1870.

Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.

Tetapi bagi Tjoet Nyak, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, atau Teungku Ibrahim Lamnga suaminya, bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya, atau para lelaki Aceh. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat.. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.

Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah.. Berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain, kurang makan dan kurangnya perawatan membuat kondisi kesehatannya merosot. Kondisi pasukanpun tak jauh berbeda.

Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada 16 November 1905 Kaphe Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya.. Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak. Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan, Tjoet Nyak memang tak bisa berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet Nyak tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Perjuangan Tjoet Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing hingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.

Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang bernama emansipasi perempuan.

Tjoet Nyak, “The Queen of Aceh Battle”, wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya dari suatu realita jamannya.. berakhir sepi di negeri seberang.. Innalillahi wainnailaihi rojiun..

Sumber: IFK


Suasana perairan Labuan Bilik dekat Singapura panas… Angin laut seperti mati! Angin tidak berhembus…

Ditengah laut terlihat sebuah kapal berhenti… Sedang di atas langit, terlihat pesawat Amphibi Belanda berputar putar di atas kapal tersebut….

Kapal dengan nama lambung “The Outlaw” itu hanya bergoyang goyang dimainkan ombak… beberapa ABK terlihat di geladak kapal itu, sedang pesawat Belanda makin menukik dan mendekati kapal di bawah…

Sampai terdengar seruan dari pesawat Belanda dengan bahasa Belanda agar kapal di minta menjauh dari perairan itu….

Namun, sang Nahkoda kapal ” The Outlaw” nekat berbohong dengan mengatakan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.

Berkali kali pesawat Belanda itu menyerukan dengan pengeras suara… Berkali juga di jawab oleh kapal di bawah bahwa mereka tidak bisa ke mana mana…

Para ABK kapal dan Nahkoda dengan berdebar menunggu…. Mereka dengan jelas melihat dua juru senjata pesawat sudah mengarahkan senapan mesin ke arah “The Outlaw”, siap menarik pelatuknya.

Akan tetapi, keajaiban terjadi, usai memutar dan agak menukik, pesawat meninggalkan “The Outlaw”…….

Seketika sang Nahkoda kapal masuk ke kabin kemudian berlutut.

Ia berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, “The Outlaw” menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.

Sekelumit kisah penyelundupan perdana kapal ” The Outlaw ” yang di pimpin John Lie…

Tak akan terbayangkan oleh mereka jika saja pesawat Belanda itu tiba tiba menembak!…. Pasti kapal itu akan meledak karena mereka saat itu sedang membawa puluhan kotak amunsi dan ratusan senjata untuk di gunakan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Jahja Daniel Dharma alias John Lie (1911-1988) adalah penyelundup ulung di laut. “Hantu Selat Malaka” julukannya.

Ia satu-satunya milisi Indonesia keturunan Tionghoa yang meraih pangkat Laksamana Muda dan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia.

John Lie awal Februari 1946, ia dan teman-teman pelaut asal Indonesia yang bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) bisa pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.

Saat singgah di Singapura selama 10 hari, dia memanfaatkan waktu mempelajari sistem pembersihan ranjau laut dari Royal Navy di Pelabuhan Singapura. Ia juga menyegarkan ingatannya soal taktik perang laut dan peranan kapal logistik.

John Lie tidak sabar ingin bergabung bersama laskar perjuangan mengusir penjajah.

Dikutip dari Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran yang ditulis wartawan Kompas, Iwan Santosa, John Lie tidak segera bergabung bersama laskar pejuang sesampainya di Jakarta. Sebulan ia habiskan mengumpulkan uang untuk ke Yogyakarta.

Pada Mei 1946, John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. Ia diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis.

Dari Maramis itulah John Lie diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta.

Setibanya di hadapan M Pardi di Yogyakarta, John Lie dengan lancar menjelaskan maksud dan tujuannya untuk bergabung bersama perjuangan Indonesia di bidang maritim.

Pardi tertarik dengan pengalaman dan kemampuan John Lie. Mereka membahas pengalaman dan kemampuan John Lie dengan menggunakan bahasa Belanda.

“John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak,” ujar Pardi kala itu.

John Lie dengan tegas menjawab, “Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut. Karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya.”

Pardi menandatangani izin bergabungnya John Lie di ALRI. John Lie diangkat sebagai Kelasi III. Meski berpangkat rendah, banyak perwira ALRI yang bertanya perihal pengetahuan kelautan ke John Lie.

Pada 29 Agustus 1946, M Pardi menugaskan John Lie pergi ke Pelabuhan Cilacap, bergabung bersama ALRI di sana. John Lie berangkat ke Cilacap dengan menumpang gerbong pos di kereta api uap dari Yogyakarta.

September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring dan menyusun personalia pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia.

John Lie merupakan salah satu yang lolos seleksi. Ia dipercaya memimpin sebuah kapal cepat bernama “The Outlaw”.

Tidak disadari, perannya sebagai penyelundup dimulai seketika. Operasi perdana, “The Outlaw” melayari rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.

Pada Oktober 1947, John Lie mencatat “The Outlaw” memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.

Belakangan, diketahui pesawat Belanda pergi karena menipisnya bahan bakar. Misi perdana pun sukses. John Lie dan 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.

Keberhasilan “The Outlaw” menyelundupkan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura hingga Thailand terus terjadi pada misi-misi berikutnya.

Siaran stasiun radio BBC di London sampai-sampai menjuluki kapal tersebut dengan nama “The Black Speedboat”.

Sumber: Beny Rusmawan

K’tut Tantri

Posted: 4 Mei 2021 in Sejarah
Tag:, , ,

Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya
K’TUT TANTRI……

Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negri barunya itu…

Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan…..

“Saja tidak akan melupakan detik detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..

K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle.

Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson.

Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.

“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.

“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.

Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.

Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja.

Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.

Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.

“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”..

tulisnya dalam Revolt in Paradise.

Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.

Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak.

Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang.

Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya.

Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.

Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan.

Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.

Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.

Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.

Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.

Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik.

Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan.

Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.

Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu.

K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.

Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.

Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985.

Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.

Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis…..

“Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”……

Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya… Abu jenasah nya di tabur di pantai Kuta seperti pinta nya…

Sumber: Beny Rusmawan


“Sebagai sesama muslim, wajib bagi kita saling membantu”….

Ucap seorang perwira Jepang di hadapan Gus Wahid ( KH. Wahid Hasyim red) dan Kyai Wahab Chasbullah saat mereka berdua meminta tolong agar Kyai Haji Hasyim Ashari dilepaskan dari tahanan militer Jepang.

Ko? Seorang perwira Jepang.. muslim?…… ya orang hanya tahu Laksamana Maeda yang bersimpati pada perjuangan Indonesia…. Sebenarnya masih banyak lagi … salah satunya adalah Abdul Hamid Nobuharu Ono atau A Hamid ono…

Berkat bantuannya dan diplomasinya Kyai Hasyim Ashari bisa bebas…
Abdul Hamid Ono terlibat sangat aktif dalam upaya diplomasi yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim untuk membebaskan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul U’lama (PBNU), Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dari tahanan pihak militer Jepang. Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, itu ditahan oleh penguasa militer dari Negeri Matahari Terbit sejak tahun 1942 ketika mulai menjajah wilayah Hindia-Belanda (Indonesia).

Peran penting Abdul Hamid Ono sebagai pembuka jalur komunikasi dan diplomasi antara pihak Ponpes Tebuireng dengan para perwira Jepang terlihat jelas dalam buku Seri Tempo: Wahid Hasyim (Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan) yang menjelaskan bahwa ia adalah pejabat dinas rahasia Jepang yang dekat dengan keluarga Asy’ari. Beliau bertugas di Gresik, Jawa Timur, semasa pendudukan Belanda dan sering berkunjung ke Ponpes Tebuireng.

Hal senada juga dinyatakan oleh Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasyim, yang memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH. Wahid Hasyim, putra sulung Hadratus Syaikh, bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta. Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratus Syaikh dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah beliau digelandang dari Ponpes Tebuireng.
Dengan demikian perubahan pandangan Jepang terhadap organisasi keagamaan dengan tidak menganggapnya lagi sebagai ancaman terhadap pendudukan mereka di Indonesia merupakan hasil dari upaya lobi, diplomasi dan pendekatan intensif yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Abdul Hamid Ono terhadap para perwira pendudukan Jepang di Indonesia.
Sejak saat itu terjadi kolaborasi politik antara sebagian besar kalangan ummat Islam di Indonesia dengan para perwira pendudukan Jepang melalui pembentukan sejumlah organisasi dan birokrasi seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Kantor Urusan Agama (Shumubu), Majalah Soeara MIAI dan PETA (Pembela Tanah Air).

Bahkan pasukan paramiliter khusus untuk ummat Islam seperti Hizbullah (Laskar Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah) juga dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi pengganti MIAI, atas izin pemerintah Jepang.

Dalam photo bersejarah ini Hamid Nabuhoru Ono tampak hanya wajahnya sedikit sedang mendampingi Kyai Haji Hasyim Ashari sebagai penerjemah…

Sumber FB: Beny Rusmawan